Senin, 06 Februari 2017

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP RITUAL TRADISI CINA CENG BENG (PELIMPAHAN JASA)


MAKALAH
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP  RITUAL TRADISI CINA CENG BENG (PELIMPAHAN JASA)
LOGOISME.jpg

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha

Disusun oleh:
Nama               :Eka Setya Ningsih
NIM                : 140360876
Semester          :1 (satu)


Jurusan Dharma Acariya
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA
JAKARTA
2014


KATA PENGANTAR
Dengan semangat, tekad dan kekuatan semua kebajikan dan keyakinan terhadap Triratna akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah dengan judul ”Ritual Tradisi cina ceng beng (pelimpahan jasa) Yang Bertentangan Dengan ajaran Buddha Makalah ini di ajukan  guna   memenuhi tugas akhir mata kuliah Pokok-Pokok Daasar Agama Buddha Di semester ganjil tahun ajaran 2014/2015

            Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah menbantu, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

            Semoga makalah ini memberikan informasi bagi Mahasiswa, memberi pengetahuan mengenai upacara dalam agam Buddha dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.




Jakarta, 09 Desenber 2014



  Penyusun


 



DAFTAR ISI



 

 

 

 

 



BAB I

PENDAHULUAN


A.    KATA PENGANTAR

Upacara pelimpahan jasa merupakan salah satu perbuatan baik yang harus sering di lakukan oleh umat manusia. Karena dengan kiriman jasa kebaikan dari alam manusia, sanak keluarga atau kerabat kita yang telah meninggal dunia dan terlahir di alam peta dan asura dapat tertolong.
            Upacara ini akan membawa banyak manfaat bagi banyak pihak,misalnya kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia, bagi kita yang melakukan perbuatan jasa dan melimpahkanya, juga bagi mereka yang menerima kebaikan dari kita.
Kita sadari bahwa banyak kebudayaan di indonesia yang melakukan pelimpahan jasa dengan              tradisi mereka masing-masing dan berpegang pada ajaran  buddha. Hal ini tentunya dipandang           positif dalam agama buddha, namun ada beberapa tradisi yang masih belum sesui dengan tata             cara pelimahan jasa menurut agama buddha. Mereka masih sering melakukan sesaji yang harus           mengorbankan makluk lain. Hal ini di percaya  bahwa dengan mengorbankan makluk lain                  maka keluarga yang telah meninggal dunia dapat berbahagia, termasuk  upacara dalam tradisi               cina yaitu ceng beng.

B.     RUMUSAN MASAlAH

1.      Berdasarkan latar belakang di atas maka menulis merumuskan masalah sebagai berikut:”Bagaiman Pandangan agama Buddha Terhadap Buddha terhadap upacara tradisi cina ceng beng (pelimpahan Jasa)?”.

C.    TUJUAN PENULISAN

           Adapun tujuan penulisann makalah ini yaitu sebagai berikut:
2.      Dapat mengetahui upacara  Pelimpahan jasa  menurut Agama Budddha.
3.      Mengetahui upacara pelimpahan jasa (Ceng Beng) dalam tradisi Cina.
4.      Mengetahui pandangan Agama Buddha terhadap upacara tradisi cina ceng beng (pelimpahan Jasa).

BAB I

PEMBAHASAN


A.    PELAKSANAAN UPACARA PELIMPAHAN JASA DALAM AGAMA BUDDHA


Pelaksanaan upacara sesaji atau pelimpahan jasa untuk menghormati leluhur telah di lakukan sejak jaman Buddha bahkan sebelum itu pun sudah banyak masyarakat yang melakukan sesaji. Pada jaman setelah munculnya Budhistsm tempat tempat upacara sesaji masih ada dan praktek sesaji masih dilakukan oleh masyarakat. upacara sesaji telah menjadi tradisi oleh masyarakat pada waktu itu salah satu wujud dari praktek upacara sesaji dengan menyembelih binatang binatang untuk di jadikan korban persembahan.
            Buddha telah menjelaskan mengenai upacara yang sukses “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, tidak ada kambin, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk manapun yang di bunuh”.
 (sutta pitaka digha nikaya IV kutadanta sutta 1993:14)
            Akan lebih baik jika umat Buddha dalam upacara sesaji tidak menggunakan daging hasil pembunuhan.  Misalnya, dalam upacara sesaji jika diharuskan untuk menggunakan daging, maka sebagai umat Buddha, daging tersebut dapat diperoleh dengan cara  membeli di pasar ataupun  di tempat pemotongan hewan tanpa memesan terlebih dahulu.apabila melalui memesan terlebih dahulu menurut agama buddha, umat tersebut telah melanggar pancasila sila pertama yang menyebutkan “panatipatta veramani sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak melakukan pembunuhan”.  Maksud dari sila pertama ini bukan hanya melakukan pembunuhan secara langsung saja, tetapimenyuruh orang untuk melakukan pembunuhan. Mebunuh yang di maksud tidak hanya membunuh binatang saja, tetapi juga meliputu menyiksa  dan menyakiti binatang ataupun juga manusia.­­­
            Uacara sesaji untuk menghormati orang meninggal juga juga di lakukan umat Buddha pada  waktu Buddha parinibana. Bikkhu Ananda menanyakan kepada sang Buddha apa yang harus di lakukan. Buddha menjelaskan untuk menghormatinya para bikkhu melakukan perawatan seperti perawatan raja dunia. Seperti yang telah di jelaskan sebagai berikut. “pertama tama di bungkus dalam kain linel yang baru, dan kemudian dengan kain katun wol yang baru pula..di berikan dalam satu peti dengan di cat meni”.
                                                                        (Mahaparinibana Sutta, 1986:37)
            Sesui dengan yang di jelaskan oleh sang buddha mengenai perawatan jenasah raja dunia,  Begitu pula yang di lakukan umat Buddha dan para bikkhu terhadap jenasah Buddha. Setelah jenasah Buddha di diperabukan umat melakukan puja bakti,  serta mempersembahkan bunga bunga untuk menghormat sang buddha hal ini di jelaskan dalam sebagai berikut. “ ... mengambil relik sang buddha di tempatkan di tengah tengah ruang sidang... di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama 7 hari.  Untuk menghormati relik sang buddha dengan menggunakan tari tarian, nyayian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga wangi wangian, melakukan puja bakti terhadap relik sang buddha”.
                                                                        (Mahaparinibana Sutta 1989:40)
            Cara yang dilakukan umat buddha pada waktu itu merupakan satu penghormatan terhadap Buddha yang meninggal dunia (Parinibbana). Jaman sekarang umat Buddha dalam melakukan persembahan untuk orang yang sudah meninggal dengan cara puja bakti, bunga, wewangian dan pelimpahan jasa. Upacara sesaji atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha selain untuk menghormati leluhur juga mempunyai makna untuk memberikan pertolongan leluhur yang terlahir di alam peta. Seperti yang di jelaskan sang buddha dalam aneka Sutta-Tirokudda  sutta, 1989:8 sebagai berikut “bagaikan sungai,bila airnya penuh dapat mengalirkan air ke laut. Demikian sesajen yang di berikan dapat menolong arwah dari sanak kluarga yang telah meninggal dunia”.

B.     UPACARA PELIMPAHAN JASA (CENG BENG) DALAM TRADISI  CINA
Cheng Beng merupakan tradisi ziarah ke makam leluhur yang dilakukan setiap tahun dan dimulai dari tanggal 25 Maret sampai tanggal 5 April atau yang sering di kenal kirim doa. Biasanya, para etnis Tionghoa yang pergi merantau jauh dari kampung halaman pun akan pulang untuk melaksanakan ziarah Cheng Bheng ini.Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak jaman dinasti Tang. Pada jaman itu, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari libur sekaligus hari wajib bagi para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal dan mengimplementasikannya dengan membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain. 
Ritual Ceng Beng atau sembahyang kubur merupakan upacara perwujudan dari sikap masyarakat Tionghoa yang sangat mencintai dan menghormati leluhurnya, seluruh keluarga baik yang ada di Pangkalpinang atau di perantauan berupaya untuk pulang dan melaksanakan ritual. Kegiatan Ritual dimulai dengan membersihkan kuburan atau pendem biasanya dilakukan 10 hari sebelum pelaksanaan Ceng Beng. Puncak kegiatan dilaksanakan pada tiap tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan dilaksanakan sejak dini hari hingga terbit fajar dengan melakukan sembahyang dan meletakkan sesajian berupa aneka buah buahan (sam kuo), ayam atau babi (sam sang), arak, aneka kue, dan makanan Vegetarian (cai choi), uang kertas (kim cin) dan membakar garu (hio), suasana di pekuburan khususnya di pekuburan Sentausa pada saat itu sangat semarak dengan Lampion dan beraroma hio yang menyengat hidung serta diiringi dengan alunan musik Belaz Band atau Tanjidor.
Adapun Simbolisasi dan makna ceng beng menurut tradisi Cina yaitu sebagai berikut:
1.    perayaan ini dilakukan beberapa saat setelah perayaan Imlek dan Cap Go Me. Hal ini seperti memberikan kesempatan ketiga bagi sebuah keluarga untuk berkumpul dengan keluarga besarnya, kalau misalnya tidak bisa berkumpul saat Imlek dan Cap Go Me, maka masih ada kesempatan dalam acara Ceng Beng. Coba saja kita cermati bentuk makam (bong) yang rata-rata melebihi rumah tipe 21 yang dibangun dengan kokoh, agung dan teduh, dan ternyata bisa digunakan sebagai sarana reuni keluarga, bisa kumpul-kumpul secara bersama dan bahagia.
2.    mempunyai nilai memorabilia. Lihat saja di papan nisan yang ada di atas makam (bong) pasti di sana tertulis nama mendiang beserta silsilahnya keturunannya, siapa memperanakkan siapa.
3.    penuh dengan sesajian. Salah satunya Samseng atau tiga jenis hewan yang disajikan. Ketiga jenis hewan itu antara lain Babi, Ayam dan Ikan.
-      Sajian Babi bermakna hendaknya anak keturunannya beranak-pinak sebanyak-banyaknya dan subur seperti kemampuan beranak-pinak si Babi. Tapi bukan berharap anak turunannya seperti Babi. Ini adalah 2 hal yang berbeda tentunya.
-      Sajian Ayam bermaksud agar keturunannya pandai dan pintar mencari nafkah.
-      Sajian Ikan bermakna semoga keluarganya mempunyai rejeki yang banyak dan melimpah ruah, sebanyak duri ikan.

C.    PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP  RITUAL TRADISI CINA CENG BENG (PELIMPAHAN JASA)

Dalam uraian di atas telah di jelaskan bahwa tidak dengan memberi sesaji makluk hidup dalam suatu upacara untuk membuat upacara tersebut berhasil. Dan hal itu dijelaskan Buddha pada Kuttadanta sutta sebagai berikut “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, tidak ada kambing, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk manapun yang di bunuh”. Hal ini jelas bahwa sebagai umat buddha kita tidak di anjurkan untuk mempersembahkan makluk hidup dalam upacara sesaji atau pelimpahan jasa.
            Bahkan selain hal di atas  upacara sesaji dengan mempersembahakan  hidup juga melanggar panca sila pertama yang berbunyi  ”panatipatta veramani sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak melakukan pembunuhan”. Pacasila melupakan landasan moral manusia yang harus di kembangkan untuk mencapai suatu kebahagiaan.
            Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita bandingkan dengan tradisi sesajaji dalam lingkungan kita seperti ritual ceng beng yanga memberikan berbagai sejaji makluk hidup  seerti babi, ayam, dan ikan yang mempunyai makna sebagai berikut:
Sajian Babi bermakna hendaknya anak keturunannya beranak-pinak sebanyak-banyaknya dan subur seperti kemampuan beranak-pinak si Babi. Tapi bukan berharap anak turunannya seperti Babi. Ini adalah 2 hal yang berbeda tentunya.
Sajian Ayam bermaksud agar keturunannya pandai dan pintar mencari nafkah.
Sajian Ikan bermakna semoga keluarganya mempunyai rejeki yang banyak dan melimpah ruah, sebanyak duri ikan.
Dengan hal itu mereka beranggapan bahwa dengan memberi persembahan seperti ini mereka yakin bahwa sanak kluarga mereka akan terbesas dari bahaya.
            Bila kita tinjau lebih dalam lagi dalam agama Buddha apapun yang di dapat oleh kita saat ini merupakan hasil karma dari perbuatan kita sendiri. Jadi, tidak dengan sesaji makluk hidup kita bisa terbebas dari penderitaan melainkan perbuatan yang kita lakukanlah yang akan menentukan hasilnya


BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN


Dalam agama Budha kesuksesan suatu upacara bukan dengan mempersembahkan makluk lain (sesaji) hal ini telah di jelaskan dalam Kuttadanta sutta.  Selain itu mempersembahkan makluk hidup (sessaji) dalam agama buddha juga melanggar sila pertama atau lima landasan moral agama buddha yaitu melath diri untuk menghindari pembunuha.
Dengan demikian apabila kita akan melakukan upacara sesaji cukup dengan puja bakti, mempersembahkan bunga, wewangian dan pelimpahan jasa karna hal ini telah dilakukan pada jaman setelah Buddha Parinibana.
kita ketahui Upacara pelimpahan jasa merupakan salah satu perbuatan baik yang harus sering di lakukan oleh umat manusia tanpa mengorbankan makluk lain. Karena dengan kiriman jasa kebaikan dari alam manusia, sanak keluarga atau kerabat kita yang telah meninggal dunia dan terlahir di alam peta dan asura dapat tertolong.

B.     SARAN

Penulis bersaran kepada semua umat buddha, apabila akan melakukan suatu upacara yang berkaitan dengan tradisi harus mempunyai pandangan benar tentang pelaksanaan tradisi yang akan dilakukan sesui yang telah di jelaskan oleh Buddha.



DAFTAR PUSTAKA


Widya,Surya.2007.Penuntun Upacara Pattidana.Jakarta:Buddha Sasana
Thera, Sumedho.2009.Kotbah Kotbah Panjang Sang Buddha.Jakarta:Dhamma Citta
Ernawati,Sri.2001.Persepsi Umat Buddha Terhadap Upacara Untuk Menghormati Leluhur Dalam Tradisi Jawa.Jakarta:…………..
T,Alex.1992.Pedoman Penghayatan Dan Pembabaran Agama Buddha Nazhab Theravada di Indonesia.Jakarta:Dhammadipa-Arama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar