MAKALAH
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP RITUAL TRADISI CINA CENG BENG (PELIMPAHAN
JASA)

Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha
Disusun
oleh:
Nama :Eka Setya Ningsih
NIM : 140360876
Semester :1 (satu)
Jurusan Dharma Acariya
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA
JAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Dengan semangat, tekad dan kekuatan semua kebajikan dan
keyakinan terhadap Triratna akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah dengan
judul ”Ritual Tradisi cina ceng beng (pelimpahan
jasa) Yang Bertentangan Dengan ajaran Buddha”
Makalah ini di ajukan guna
memenuhi tugas akhir mata kuliah Pokok-Pokok Daasar Agama Buddha Di
semester ganjil tahun ajaran 2014/2015
Saya
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah menbantu, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi Mahasiswa, memberi pengetahuan mengenai
upacara dalam agam Buddha dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Jakarta,
09 Desenber 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
KATA PENGANTAR
Upacara pelimpahan jasa merupakan salah satu
perbuatan baik yang harus sering di lakukan oleh umat manusia. Karena dengan
kiriman jasa kebaikan dari alam manusia, sanak keluarga atau kerabat kita yang
telah meninggal dunia dan terlahir di alam peta dan asura dapat tertolong.
Upacara ini akan membawa banyak
manfaat bagi banyak pihak,misalnya kepada sanak keluarga yang telah meninggal
dunia, bagi kita yang melakukan perbuatan jasa dan melimpahkanya, juga bagi
mereka yang menerima kebaikan dari kita.
Kita sadari bahwa banyak kebudayaan di indonesia
yang melakukan pelimpahan jasa dengan tradisi mereka masing-masing dan
berpegang pada ajaran buddha. Hal ini
tentunya dipandang positif dalam agama buddha, namun ada beberapa tradisi yang
masih belum sesui dengan tata cara pelimahan jasa menurut agama buddha. Mereka masih
sering melakukan sesaji yang harus mengorbankan makluk lain. Hal ini di
percaya bahwa dengan mengorbankan makluk
lain maka keluarga yang telah meninggal dunia dapat berbahagia, termasuk upacara dalam tradisi cina yaitu ceng beng.
B. RUMUSAN MASAlAH
1. Berdasarkan
latar belakang di atas maka menulis merumuskan masalah sebagai berikut:”Bagaiman
Pandangan agama Buddha Terhadap Buddha terhadap upacara tradisi cina ceng beng (pelimpahan
Jasa)?”.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisann makalah ini
yaitu sebagai berikut:
2. Dapat mengetahui upacara Pelimpahan jasa menurut Agama Budddha.
3. Mengetahui upacara pelimpahan jasa (Ceng
Beng) dalam tradisi Cina.
4. Mengetahui pandangan Agama Buddha
terhadap upacara tradisi cina ceng beng (pelimpahan Jasa).
BAB I
PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN UPACARA PELIMPAHAN JASA DALAM AGAMA BUDDHA
Pelaksanaan upacara sesaji atau pelimpahan jasa
untuk menghormati leluhur telah di lakukan sejak jaman Buddha bahkan sebelum
itu pun sudah banyak masyarakat yang melakukan sesaji. Pada jaman setelah munculnya
Budhistsm tempat tempat upacara sesaji masih ada dan praktek sesaji masih
dilakukan oleh masyarakat. upacara sesaji telah menjadi tradisi oleh masyarakat
pada waktu itu salah satu wujud dari praktek upacara sesaji dengan menyembelih
binatang binatang untuk di jadikan korban persembahan.
Buddha telah menjelaskan mengenai
upacara yang sukses “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, tidak
ada kambin, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk manapun yang di
bunuh”.
(sutta
pitaka digha nikaya IV kutadanta sutta 1993:14)
Akan lebih baik jika umat Buddha dalam
upacara sesaji tidak menggunakan daging hasil pembunuhan. Misalnya, dalam upacara sesaji jika
diharuskan untuk menggunakan daging, maka sebagai umat Buddha, daging tersebut
dapat diperoleh dengan cara membeli di
pasar ataupun di tempat pemotongan hewan
tanpa memesan terlebih dahulu.apabila melalui memesan terlebih dahulu menurut
agama buddha, umat tersebut telah melanggar pancasila sila pertama yang
menyebutkan “panatipatta veramani
sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak
melakukan pembunuhan”. Maksud dari
sila pertama ini bukan hanya melakukan pembunuhan secara langsung saja, tetapimenyuruh
orang untuk melakukan pembunuhan. Mebunuh yang di maksud tidak hanya membunuh
binatang saja, tetapi juga meliputu menyiksa
dan menyakiti binatang ataupun juga manusia.
Uacara sesaji untuk menghormati
orang meninggal juga juga di lakukan umat Buddha pada waktu Buddha parinibana. Bikkhu Ananda
menanyakan kepada sang Buddha apa yang harus di lakukan. Buddha menjelaskan
untuk menghormatinya para bikkhu melakukan perawatan seperti perawatan raja
dunia. Seperti yang telah di jelaskan sebagai berikut. “pertama tama di bungkus
dalam kain linel yang baru, dan kemudian dengan kain katun wol yang baru
pula..di berikan dalam satu peti dengan di cat meni”.
(Mahaparinibana Sutta, 1986:37)
Sesui dengan yang di jelaskan oleh
sang buddha mengenai perawatan jenasah raja dunia, Begitu pula yang di lakukan umat Buddha dan
para bikkhu terhadap jenasah Buddha. Setelah jenasah Buddha di diperabukan umat
melakukan puja bakti, serta
mempersembahkan bunga bunga untuk menghormat sang buddha hal ini di jelaskan dalam
sebagai berikut. “ ... mengambil relik sang buddha di tempatkan di tengah
tengah ruang sidang... di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama 7
hari. Untuk menghormati relik sang
buddha dengan menggunakan tari tarian, nyayian dan lagu kebaktian, serta
mempersembahkan bunga wangi wangian, melakukan puja bakti terhadap relik sang
buddha”.
(Mahaparinibana Sutta 1989:40)
Cara yang dilakukan umat buddha pada
waktu itu merupakan satu penghormatan terhadap Buddha yang meninggal dunia (Parinibbana).
Jaman sekarang umat Buddha dalam melakukan persembahan untuk orang yang sudah
meninggal dengan cara puja bakti, bunga, wewangian dan pelimpahan jasa. Upacara
sesaji atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha selain untuk menghormati leluhur
juga mempunyai makna untuk memberikan pertolongan leluhur yang terlahir di alam
peta. Seperti yang di jelaskan sang buddha dalam aneka Sutta-Tirokudda sutta, 1989:8 sebagai berikut “bagaikan
sungai,bila airnya penuh dapat mengalirkan air ke laut. Demikian sesajen yang
di berikan dapat menolong arwah dari sanak kluarga yang telah meninggal dunia”.
B.
UPACARA PELIMPAHAN JASA (CENG BENG)
DALAM TRADISI CINA
Cheng Beng merupakan tradisi ziarah
ke makam leluhur yang dilakukan setiap tahun dan dimulai dari tanggal 25 Maret
sampai tanggal 5 April atau yang sering di kenal kirim doa. Biasanya, para
etnis Tionghoa yang pergi merantau jauh dari kampung halaman pun akan pulang
untuk melaksanakan ziarah Cheng Bheng ini.Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak
jaman dinasti Tang. Pada jaman itu, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari
libur sekaligus hari wajib bagi para pejabat untuk menghormati para leluhur
yang telah meninggal dan mengimplementasikannya dengan membersihkan kuburan
para leluhur, sembahyang dan lain-lain.
Ritual Ceng
Beng atau sembahyang kubur merupakan upacara perwujudan dari sikap masyarakat
Tionghoa yang sangat mencintai dan menghormati leluhurnya, seluruh keluarga
baik yang ada di Pangkalpinang atau di perantauan berupaya untuk pulang dan
melaksanakan ritual. Kegiatan Ritual dimulai dengan membersihkan kuburan atau
pendem biasanya dilakukan 10 hari sebelum pelaksanaan Ceng Beng. Puncak
kegiatan dilaksanakan pada tiap tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan
dilaksanakan sejak dini hari hingga terbit fajar dengan melakukan sembahyang
dan meletakkan sesajian berupa aneka buah buahan (sam kuo), ayam atau babi (sam
sang), arak, aneka kue, dan makanan Vegetarian (cai choi), uang kertas (kim
cin) dan membakar garu (hio), suasana di pekuburan khususnya di pekuburan Sentausa
pada saat itu sangat semarak dengan Lampion dan beraroma hio yang menyengat
hidung serta diiringi dengan alunan musik Belaz Band atau Tanjidor.
Adapun Simbolisasi dan makna ceng
beng menurut tradisi Cina yaitu sebagai berikut:
1.
perayaan
ini dilakukan beberapa saat setelah perayaan Imlek dan Cap Go Me.
Hal ini seperti memberikan kesempatan ketiga bagi sebuah keluarga untuk
berkumpul dengan keluarga besarnya, kalau misalnya tidak bisa berkumpul saat Imlek
dan Cap Go Me, maka masih ada kesempatan dalam acara Ceng Beng.
Coba saja kita cermati bentuk makam (bong) yang rata-rata melebihi rumah
tipe 21 yang dibangun dengan kokoh, agung dan teduh, dan ternyata bisa
digunakan sebagai sarana reuni keluarga, bisa kumpul-kumpul secara bersama dan
bahagia.
2.
mempunyai
nilai memorabilia. Lihat saja di papan nisan yang ada di atas makam (bong)
pasti di sana tertulis nama mendiang beserta silsilahnya keturunannya, siapa
memperanakkan siapa.
3.
penuh
dengan sesajian. Salah satunya Samseng atau tiga jenis hewan yang disajikan.
Ketiga jenis hewan itu antara lain Babi, Ayam dan Ikan.
-
Sajian
Babi bermakna hendaknya anak keturunannya beranak-pinak sebanyak-banyaknya dan
subur seperti kemampuan beranak-pinak si Babi. Tapi bukan berharap anak turunannya
seperti Babi. Ini adalah 2 hal yang berbeda tentunya.
-
Sajian
Ayam bermaksud agar keturunannya pandai dan pintar mencari nafkah.
-
Sajian
Ikan bermakna semoga keluarganya mempunyai rejeki yang banyak dan melimpah
ruah, sebanyak duri ikan.
C.
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP RITUAL TRADISI CINA CENG BENG (PELIMPAHAN
JASA)
Dalam uraian di atas telah di
jelaskan bahwa tidak dengan memberi sesaji makluk hidup dalam suatu upacara
untuk membuat upacara tersebut berhasil. Dan hal itu dijelaskan Buddha pada Kuttadanta
sutta sebagai berikut “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak
ada sapi, tidak ada kambing, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk
manapun yang di bunuh”. Hal ini jelas bahwa sebagai umat buddha kita tidak di
anjurkan untuk mempersembahkan makluk hidup dalam upacara sesaji atau
pelimpahan jasa.
Bahkan selain hal di atas upacara sesaji dengan mempersembahakan hidup juga melanggar panca sila pertama yang berbunyi ”panatipatta
veramani sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak
melakukan pembunuhan”. Pacasila melupakan landasan moral manusia yang harus
di kembangkan untuk mencapai suatu kebahagiaan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat
kita bandingkan dengan tradisi sesajaji dalam lingkungan kita seperti ritual
ceng beng yanga memberikan berbagai sejaji makluk hidup seerti babi, ayam, dan ikan yang mempunyai
makna sebagai berikut:
Sajian
Babi bermakna hendaknya anak keturunannya beranak-pinak sebanyak-banyaknya dan
subur seperti kemampuan beranak-pinak si Babi. Tapi bukan berharap anak
turunannya seperti Babi. Ini adalah 2 hal yang berbeda tentunya.
Sajian
Ayam bermaksud agar keturunannya pandai dan pintar mencari nafkah.
Sajian
Ikan bermakna semoga keluarganya mempunyai rejeki yang banyak dan melimpah
ruah, sebanyak duri ikan.
Dengan
hal itu mereka beranggapan bahwa dengan memberi persembahan seperti ini mereka
yakin bahwa sanak kluarga mereka akan terbesas dari bahaya.
Bila kita tinjau lebih dalam lagi
dalam agama Buddha apapun yang di dapat oleh kita saat ini merupakan hasil
karma dari perbuatan kita sendiri. Jadi, tidak dengan sesaji makluk hidup kita
bisa terbebas dari penderitaan melainkan perbuatan yang kita lakukanlah yang
akan menentukan hasilnya
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam agama Budha kesuksesan suatu upacara bukan
dengan mempersembahkan makluk lain (sesaji) hal ini telah di jelaskan dalam Kuttadanta sutta. Selain itu mempersembahkan makluk hidup
(sessaji) dalam agama buddha juga melanggar sila pertama atau lima landasan
moral agama buddha yaitu melath diri untuk menghindari pembunuha.
Dengan demikian apabila kita akan melakukan upacara
sesaji cukup dengan puja bakti, mempersembahkan bunga, wewangian dan pelimpahan
jasa karna hal ini
telah dilakukan pada jaman setelah Buddha Parinibana.
kita ketahui Upacara pelimpahan jasa merupakan salah
satu perbuatan baik yang harus sering di lakukan oleh umat manusia tanpa
mengorbankan makluk lain. Karena dengan kiriman jasa kebaikan dari alam
manusia, sanak keluarga atau kerabat kita yang telah meninggal dunia dan
terlahir di alam peta dan asura dapat tertolong.
B. SARAN
Penulis bersaran kepada semua umat buddha, apabila akan
melakukan suatu upacara yang berkaitan dengan tradisi harus mempunyai pandangan
benar tentang pelaksanaan tradisi yang akan dilakukan sesui yang telah di
jelaskan oleh Buddha.
DAFTAR PUSTAKA
Widya,Surya.2007.Penuntun
Upacara Pattidana.Jakarta:Buddha Sasana
Thera, Sumedho.2009.Kotbah Kotbah Panjang Sang Buddha.Jakarta:Dhamma
Citta
Ernawati,Sri.2001.Persepsi Umat Buddha Terhadap Upacara Untuk
Menghormati Leluhur Dalam Tradisi Jawa.Jakarta:…………..
T,Alex.1992.Pedoman Penghayatan Dan Pembabaran Agama
Buddha Nazhab Theravada di Indonesia.Jakarta:Dhammadipa-Arama.
http://bangkabelitungkite.blogspot.com/2014/04/cheng-beng-adat-warga-tionghoa-di-bangka.html (diakssses pada 2 desember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar